BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Secara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah UU Pidana yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus. Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu.
Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Contoh dari tindak pidana khusus ini adalah Narkotika. Dimana ketentuan materil dan formilnya tidak sama dengan ketentuan yang ada dalam KUHP dan KUHAP. Artinya ketentuannya diatur sendiri dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
B. Tujuan
a. Untuk mengetahui gambaran perbedaan antara hukum materil dalam Undang-undang Narkotika dengan KUHP.
b. Untuk mengetahui gambaran perbedaan antara hukum formil dalam Undang-undang Narkotika dengan KUHAP.
BAB II. PEMBAHASAN
A. Perbedaan Hukum Materil Dalam Undang-Undang Narkotika Dengan KUHP
Hukum materil dalam Undang-undang Narkotika dibandingkan dengan KUHP.
a. Undang-undang Narkotika Bersifat Elastis.
Artinya ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang narkotika dapat dengan mudah untuk dirubah apabila terdapat penyimpangan atau untuk mengatur hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang tersebut, karena undang-undang tersebut hanya mengatur tentang satu hal yaitu tentang narkotika. Misalnya undang-undang No. 22 Tahun 1997 yang dirubah dengan undang-undang No. 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Sedangkan KUHP tidak bersifat elastic karena ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya tidak hanya mengatur mengenai satu hal melainkan banyak hal.
b. Pengaturan Tersendiri Tindak Pidana Kejahatan dan Pelanggaran.
Dalam undang-undang narkotika hanya mengatur mengenai kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika saja. Apabila terjadi pelanggaran ketentuan mengenai penyimpangan, maka hukumannya diatur sendiri, seperti dalam pasal 14 ayat (2) UU ini mengenai sanksi adminisratif berupa:
1) teguran
2) peringatan
3) denda adminisratif
4) penghentian sementara kegiatan
5) pencabutan izin
c. Percobaan dan Membantu Melakukan Tindak Pidana Diancam Dengan Hukuman.
Percobaan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika sebagaimana diatur dalam undang-undang narkotika tersebut dengan pidana penjara yang sama dengan orang melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap ketentuan dalam undang-undang narkotika ini, misalnya percobaan untuk menyediakan narkotika golongan 1,dipidana dengan pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun danpidana denda paling sedikit Rp800.000.000,00 (delapan ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00(delapan miliar rupiah). Sedangkan dalam KUHP, hukuman terhadap orang yang melakukan percobaan adalah maksimum hukuman utama yang diadakan bagi kejahatan dikurangkan dengan sepertiganya, dalam hal percobaan.
d. Perluasan Berlakunya Asas Teritorial (ekstera teritorial).
Pemerintah mengupayakan kerja sama dengan negara lain dan/atau badan internasional secara bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional dalam rangka pembinaan dan pengawasan Narkotika dan Prekursor Narkotika sesuai dengan kepentingan nasional. Hal tersebut diatur dalam pasal 63 UU No.35 Tahun 2009. Sedangkan KUHP tidak bersifat ekstra teritorial karena KUHP hanya berlaku diwilayah Negara Indonesia.
e. Mempunyai Sifat Terbuka.
Maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain itu menetukan menjadi tindak pidana. Artinya tindak pidana dalam UU lain dapat dijadikan tindak pidana dalam UU Narkotika apabila perbuatan pidana tersebut berkaitan dengan kejahatan narkotika. Sedangkan balam KUHP tidak bisa.
f. Hukuman-hukuman Dalam UU Narkotika.
Dalam undang-undang narkotika terdapat hukuman mati, hukum penjara, hukuman denda. Selain itu terdapat sanksi adminisratif seperti teguran, peringatan, denda adminisratif, penghentian sementara kegiatan dan pecambutan izin serta hukuman tambahan yang diatur dalam pasal 130 ayat (2) UU Narkotika, berupa:
a) pencabutan izin usaha; dan/atau
b) pencabutan status badan hukum.
Sedangkan dalam KUHP hukumannya beruap:
a) Hukuman Pokok
· Hukuman mati.
· Hukuman penjara.
· Hukuman kurungan.
· Hukuman denda.
b) Hukuman Tambahan
· Pencabutan beberapa hak yang tertentu.
· Perampasan barang yang tertentu.
· Pengumuman keputusan hakim.
g. Penggunaan Pidana Minimal
Penggunaan pidana minimal dalam undang-undang narkotika memberikan asumsi bahwa undang-undang tersebut diberlakukan untuk menjerat pihak-pihak yang melakukan kejahatan dan pelanggaran terhadap narkotika. Misalnya pidana minimal yang terdapat dalam pasal 113 ayat (1) UU No.35 tahun 2009, sedangkan dalam KUHP tidak mengenal pidana minimal, yang ada hanya pidana maksimal, seperti dalam pasal 362 KUHP tentang pencurian.
h. Hukuman Bersifat Komulatif.
Hukuman yang terdapat dalam UU no.35 Tahun 2009 tentang Narkotika bersifat komulatif, artinya orang yang tertangkap melakukan kejahatan atau pelanggaran terhadap narkotika akan dihukum dengan hukuman pidana hukuman denda. Jadi orang tersebut harus memenuhi kedua hukuman tersebut, tidak boleh memilih salah satu. Sedangkan dalam KUHP, hukumannya bersifat alternatif, artinya terhadap suatu tindak pidana hukumannya adalah hukuman penjara dan/atau hukuman denda. Artinya pihak yang melakukan kejahatan atau pelanggaran dapat memilih sendiri hukumannya baik itu hukuman penjara atau denda (subside).
i. Azas-azas Berlakunya Tindak Pidana
Undang-undang tentang Narkotika diselenggarakan berdasarkan beberapa azas yang diatur dalam pasal 3 UU No.35 Tahun 2009 yaitu:
a) Keadilan.
b) Pengayoman.
c) Kemanusiaan.
d) Ketertiban.
e) Perlindungan.
f) Keamanan.
g) nilai-nilai ilmiah.
h) Kepastian hukum.
Sedangkan KUHP diselenggarakan berdasarkan azas:
a) Azas legalitas.
b) Azas territorial.
c) Azas tidak berlaku surut ( retro aktif).
d) Azas nasionalitas, terdiri dari nasionalitas aktif dan pasif.
j. Tidak Dikenal Adanya Delik Culpa.
Dalam undang-undang narkotika ini tidak mengenal adanya delik culpa atau ketidak sengajaan. Hal tersebut nampak dari kata “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum”. Yang artinya siapa saja dapat dipidana tanpa melihat apakah dia melakukan perbuatan tersebut dengan tidak sengaja. Sedangkan dalam KUHP terdapat delik culpa, dimana terhadap orang yang melakukan delik tersebut masih dipertimbangkan, seperti dalam pasal 359 KUHP.
B. Perbedaan Hukum Formil Dalam Undang-Undang Narkotika Dengan KUHP
Hukum formil dalam Undang-undang Narkotika dibandingkan dengan KUHAP.
a. Penyelidikan dan Tugas/Wewenang BNN.
Dalam Undang-Undang No.35 Tahun 2009 tentang Narkotika, kewenangan penyelidikan diberikan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN). Selain itu BNN juga wewenang yang cukup besar antara lain termasuk:
· Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
· Mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
· Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
· Melakukan kerja sama bilateral dan multilateral, baik regional maupun internasional, guna mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika.
Sedangkan dalam KUHAP kewenangan penyelidikan dilakukan oleh setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia. Yang kewenangannya antara lain
· Mencari keterangan dan barang bukti.
· Menerima laporan atau pengaduan dan seorang tentang adanya tindak pidana.
· Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri.
· Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
· Pemeriksaan dan penyitaan surat.
· Mengambil sidik jari dan memotret seorang.
· Penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan
· Membawa dan menghadapkan seorang pada penyidik.
b. Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Dalam pasal 73 disebutkan bahwa penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan si sidang pengadilan dilakukan oleh BNN. Penyidikan yang dilakukan oleh BNN adalah seperti melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan di bawah pengawasan. Namun disamping itu penyidik pegawai negeri sipil juga berkoordinasi dengan penyidik BNN. Sedangkan dalam KUHAP, wewenang penyidikan hanya dilakukan oleh pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
c. Melakukan Penyadapan.
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan atau penyidikan dengan cara menyadap pembicaraan, pesan, informasi, dan/atau jaringan komunikasi yang dilakukan melalui telepon dan/atau alat komunikasi elektronik lainnya. Hal tersebut diatur dalam pasal 1 ayat(19) UU Narkotika. Selain itu, melakukan penyadapan yang terkait dengan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika setelah terdapat bukti awal yang cukup. Hal tersebut juga merupakan kewenangan dari BNN. Sedangkan dalam KUHAP tidak ada pengaturan untuk melakukan penyadapan.
d. Berlaku Pembuktian Terbalik
Untuk kepentingan penyidikan atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tersangka atau terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta kekayaan dan harta benda istri, suami, anak, dan setiap orang atau korporasi yang diketahuinya atau yang diduga mempunyai hubungan dengan tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika yang dilakukan tersangka atau terdakwa. Hal tersebut diatur dalam pasal 97 UU No.35 Tahun 2009. Selain itu, hakim juga dapat meminta kepada terdakwa untuk membuktikan bahwa harta yang diperolehnya bukan dari hasil narkotika. Sedangkan dalam KUHAP tidak mengenal pembuktian terbalik.
e. Didahulukan Dari Perkara Pidana Biasa
Apabila terdapat dua buah perkara yang diajukan ke pengadilan, dimana salah satunya merupakan perkara pidana khusus, maka perkara tersebutlah yang lebih didahulukan penyelesaiannya dibandingkan dengan perkara biasa. Hal tersebut diatur dalam pasal 74 ayat(1) UU Narkotika. Sedangkan dalam KUHAP tidak diatur mengenai perkara khusus atau umum. Semua perkara yang ditangani bersifat umum. Jadi tidak ada yang lebih diutamakan.
f. Alat bukti
Dalam undang-undang narkotika juga diatur mengenai alat bukti lain selain yang terdapat dalam hukum acara pidana, yaitu berupa:
a) informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b) data rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada:
1. tulisan, suara, dan/atau gambar;
2. peta, rancangan, foto atau sejenisnya; atau
3. huruf, tanda, angka, simbol, sandi, atau perforasi yang memiliki makna dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Hal tersebut sebagaimana dimaksud dalam pasal 86 ayat (1 dan 2) UU No. 35 Tahun2009 tentang Narkotika.
Sedangkan dalam KUHAP sebagaimana disebutkan dalam pasal 187, alat bukti hanya berupa:
a) Keterangan saksi.
b) Keterangan ahli.
c) Surat.
d) Petunjuk
e) Keterangan terdakwa.
BAB III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ada beberapa perbedaan antara hukum materil dan formil dalam Undang-undang Narkotika dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHP dan KUHAP, mulai dari hukuman, pembuktian, penyelidikan, penyidikan bahkan sampai penuntutan. Dimana dalam undang-undang narkotika ada beberapa proses termasuk penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dilakukan juga oleh Badan Narkotika Nasional (BNN) sedangkan dalam perkara pidana biasa proses tersebut dilakukan oleh aparat kepolisian dan pegawai negeri sipil. Pembuktian dalam UU Narkotika juga mengenal pembuktian terbalik terbatas, dimana terdakwa atau tersangka harus membuktikan asal harta yang ada padanya. Apakah harta tersebut diperolehnya dari hasil melakukan kejahatan narkotika atau tidak.
DAFTAR PUSTAKA
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.